Tren Riset Kendaraan Listrik di Indonesia, Malaysia, dan Thailand

EV di ASEAN: Siapa yang Memimpin?

Industri kendaraan listrik (EV) di kawasan ASEAN sedang mengalami perkembangan pesat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan transportasi berkelanjutan dan dukungan kebijakan pemerintah. Thailand muncul sebagai pemimpin regional dalam adopsi kendaraan listrik, didorong oleh kebijakan pemerintah yang agresif, ketersediaan infrastruktur pengisian daya yang luas, serta investasi asing dalam industri manufaktur EV. Sebagai perbandingan, Malaysia dan Indonesia masih berada pada tahap awal pengadopsian, menghadapi kendala seperti biaya kendaraan yang tinggi, infrastruktur yang terbatas, serta rendahnya penerimaan masyarakat. Namun, ada tren pertumbuhan eksponensial dalam penelitian terkait kendaraan listrik di ASEAN. Dari 1.484 publikasi yang dianalisis dalam rentang waktu 2015–2025, universitas di Malaysia mendominasi kontribusi riset, sementara Indonesia dan Thailand juga menunjukkan peningkatan dalam keterlibatan akademik terkait EV.

Tantangan dan Solusi untuk Adopsi Kendaraan Listrik

Tantangan dan solusi dalam adopsi kendaraan listrik di tiga negara ini meliputi beberapa aspek utama. Dari segi infrastruktur pengisian daya, Thailand telah membangun lebih dari 2.500 stasiun pengisian pada tahun 2023, sementara Indonesia masih tertinggal dengan sekitar 1.131 stasiun, meskipun pemerintah menargetkan peningkatan menjadi 4.300 stasiun pada tahun 2025. Selain itu, biaya kepemilikan yang tinggi juga menjadi hambatan, terutama di Indonesia dan Malaysia, di mana harga kendaraan listrik masih lebih mahal dibandingkan kendaraan konvensional, sehingga memperlambat adopsi di pasar domestik. Dari sisi kesiapan teknologi dan keamanan, meskipun terdapat inovasi seperti baterai solid-state dan sistem pengelolaan baterai berbasis kecerdasan buatan (AI), masih ada tantangan dalam efisiensi penggunaan daya serta durasi pengisian ulang yang belum optimal. Faktor lain yang turut memengaruhi adalah kesadaran publik. Kurangnya pemahaman tentang manfaat kendaraan listrik masih menjadi kendala besar bagi adopsi yang lebih luas di Indonesia dan Malaysia, menghambat perkembangan industri ini di kedua negara tersebut.

Peran Kebijakan dan Kolaborasi Regional

Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam adopsi kendaraan listrik, pemerintah di ketiga negara telah mengambil sejumlah inisiatif strategis guna mempercepat transisi menuju kendaraan ramah lingkungan. Di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019, yang bertujuan untuk mendorong percepatan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai. Kebijakan ini mencakup berbagai insentif, termasuk pengurangan pajak, subsidi bagi industri, serta pembangunan infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya. Selain itu, Indonesia juga berupaya meningkatkan daya tarik kendaraan listrik melalui berbagai program insentif bagi produsen dan konsumen guna mempercepat transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil.

Sementara itu, Malaysia mengadopsi Kebijakan Otomotif Nasional (NAP) 2014 dan Kebijakan Energi Nasional (NEP) 2022–2040, yang dirancang untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan daya saing industri otomotif nasional di era elektrifikasi. Melalui kebijakan ini, Malaysia tidak hanya berfokus pada insentif kendaraan listrik bagi konsumen, tetapi juga mendorong investasi dalam teknologi hijau, riset dan pengembangan baterai, serta memperkuat ekosistem industri kendaraan listrik di dalam negeri. Dengan demikian, Malaysia berharap dapat menjadi salah satu pusat produksi kendaraan listrik di kawasan Asia Tenggara.

Di Thailand, pemerintah menerapkan strategi yang lebih agresif dengan memberikan insentif pajak dan subsidi bagi pembeli kendaraan listrik guna meningkatkan daya tarik kendaraan ramah lingkungan di pasar domestik. Selain itu, Thailand juga mempercepat pengembangan ekosistem manufaktur kendaraan listrik dengan menarik investasi dari perusahaan otomotif global serta memperluas kapasitas produksi baterai dan komponen kendaraan listrik. Dengan kebijakan ini, Thailand menargetkan untuk menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik utama di kawasan Asia Tenggara, sekaligus mempercepat peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik.

Melalui berbagai kebijakan ini, ketiga negara berupaya mengatasi hambatan dalam infrastruktur, biaya kepemilikan, kesiapan teknologi, serta kesadaran publik agar transisi menuju kendaraan listrik dapat berjalan lebih cepat dan efektif.

Masa Depan Kendaraan Listrik di ASEAN

Dengan kebijakan yang tepat, investasi yang berkelanjutan dalam infrastruktur, serta peningkatan kesadaran masyarakat, Indonesia, Malaysia, dan Thailand memiliki potensi besar untuk menjadi pusat industri kendaraan listrik di ASEAN. Ketiga negara ini memiliki keunggulan strategis, baik dari segi sumber daya alam, tenaga kerja, maupun posisi geografis yang dapat mendukung pengembangan ekosistem kendaraan listrik secara lebih luas. Indonesia, misalnya, memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yang merupakan bahan utama dalam produksi baterai kendaraan listrik. Dengan memanfaatkan sumber daya ini secara optimal, Indonesia dapat memainkan peran penting dalam rantai pasok industri kendaraan listrik global.

Selain itu, Malaysia dengan infrastruktur industri otomotif yang sudah berkembang dan kebijakan pro-investasi, berpotensi menjadi pusat penelitian dan pengembangan (R&D) bagi teknologi kendaraan listrik di kawasan. Dengan dukungan dari Kebijakan Otomotif Nasional (NAP) dan Kebijakan Energi Nasional (NEP), Malaysia dapat menarik lebih banyak investasi asing untuk mengembangkan teknologi baterai, sistem pengisian daya, dan perangkat lunak pengelolaan energi berbasis kecerdasan buatan (AI). Sementara itu, Thailand, yang telah lama menjadi basis manufaktur otomotif terbesar di ASEAN, terus memperkuat posisinya melalui berbagai insentif pajak, subsidi bagi konsumen, serta program percepatan ekosistem kendaraan listrik. Dengan dukungan kebijakan ini, Thailand memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara.

Namun, untuk benar-benar mewujudkan potensi ini, masih diperlukan riset dan inovasi yang berkelanjutan di berbagai aspek, mulai dari efisiensi baterai, teknologi pengisian daya cepat, hingga integrasi energi terbarukan dalam sistem transportasi listrik. Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi menjadi krusial dalam mengembangkan teknologi yang tidak hanya efisien tetapi juga terjangkau bagi masyarakat luas. Selain itu, edukasi publik mengenai manfaat kendaraan listrik, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan, harus terus ditingkatkan agar adopsi kendaraan listrik semakin meluas.

Keberhasilan transisi menuju transportasi berkelanjutan di kawasan ini sangat bergantung pada komitmen jangka panjang dari berbagai pemangku kepentingan. Dengan strategi yang holistik dan pendekatan yang terintegrasi, Indonesia, Malaysia, dan Thailand tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga dapat memperkuat daya saing mereka di industri kendaraan listrik global, menciptakan lapangan kerja baru, serta berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim secara signifikan.

Untuk membaca artikel lengkapnya, Anda dapat mengakses artikel asli di jurnal Automotive Experiences.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *