NewsPenelitian

Self-Assessment Proposal Penelitian: Perlukah Dilakukan Sebelum Submit?

497
×

Self-Assessment Proposal Penelitian: Perlukah Dilakukan Sebelum Submit?

Share this article

Setiap musim hibah penelitian tiba, satu cerita selalu berulang. Proposal ditulis berminggu-minggu, ide terasa kuat, referensi sudah dirasa banyak, tetapi hasil seleksi tetap Tidak Didanai. Ketika ditelusuri lebih jauh, masalahnya sering kali bukan pada gagasan, melainkan pada hal yang luput diperiksa sebelum proposal dikirim. Di titik inilah self-assessment proposal penelitian menjadi penting. Pertanyaannya: perlukah? Jawabannya semakin jelas jika kita membaca cara DPPM menilai proposal penelitian tahun 2026. Sebenarnya adalam panduan sudah ditulis jelas kriteria indiktor penilaiannya, namun masih banyak dosen yang terlawat dalam membacanya. Padahal komponen ini sangat penting dan menjadi kompas/GPS dalam penyusunan proposal.

Seleksi Administrasi, Mesin Pembunuh Pertama

Seleksi administrasi adalah tahap yang sering diremehkan, padahal justru paling sering menggugurkan proposal. Reviewer belum membaca substansi, tetapi sistem sudah terlebih dahulu “menyaring” proposal yang tidak patuh format. Beberapa kesalahan klasik yang berulang setiap tahun antara lain:

  • Isi proposal tidak sepenuhnya mengikuti template BIMA.
  • Jumlah kata per bagian melewati batas yang ditentukan.
  • Pola sitasi masih menggunakan nama–tahun, bukan sistem angka.
  • Lampiran wajib tidak lengkap atau tidak sesuai skema.

Untuk penelitian terapan, syaratnya bahkan lebih ketat: ketua pengusul harus memiliki publikasi relevan dan mitra penelitian harus dibuktikan secara formal.

Oleh karenanya, melakukan self-assessment pada tahap ini sejatinya seperti melakukan quality control. Bukan soal ide besar, tetapi soal disiplin teknis.

Seleksi Substansi, Gagasan Diuji Serius

Jika proposal lolos administrasi, barulah substansi diuji. Penilaian substansi tidak bersifat umum, tetapi sangat terstruktur dan berbobot berbeda pada setiap komponen.

Rekam Jejak Bukan Sekadar Daftar Publikasi

Rekam jejak peneliti memiliki bobot yang bervariasi, bahkan bisa mencapai 30% pada penelitian terapan. Artinya, proposal tidak hanya menilai apa yang akan diteliti, tetapi juga siapa yang meneliti. Self-assessment di bagian ini membantu peneliti bertanya jujur:

Apakah publikasi saya relevan dengan topik yang diusulkan?
Apakah kepakaran saya terlihat jelas dalam proposal?

Menuliskan rekam jejak tanpa relevansi hanya akan menurunkan kredibilitas proposal itu sendiri.

Urgensi dan Pendahuluana adalah Jantung Proposal

Komponen urgensi dan pendahuluan adalah penentu utama skor. Pada beberapa skema, bobotnya lebih dari separuh total nilai. Di sinilah reviewer mencari jawaban atas satu pertanyaan mendasar: mengapa penelitian ini penting dan layak didanai sekarang? Self-assessment pada bagian ini sangat krusial. Banyak proposal gagal bukan karena tidak ada kebaruan, tetapi karena kebaruan tersebut tidak ditunjukkan dengan tajam. Masalah tidak dirumuskan secara kuat, state of the art kabur, dan roadmap penelitian terkesan tempelan. Membaca ulang bagian pendahuluan dengan sudut pandang reviewer sering kali membuka kekurangan yang sebelumnya tidak terasa.

Metode, Sudahkah Akurat?

Metode penelitian adalah bagian yang paling sering membuat proposal berhenti di skor menengah. Metode yang terlalu umum, tidak sinkron dengan luaran, atau tidak realistis dikerjakan dalam satu tahun menjadi catatan klasik reviewer. Self-assessment membantu memastikan bahwa:

  • Metode yang dipilih memang tepat untuk menjawab masalah.
  • Pembagian tugas tim jelas dan masuk akal.
  • Target luaran sejalan dengan waktu dan fasilitas yang tersedia.
  • Untuk penelitian terapan, keberadaan mitra yang benar-benar aktif juga menjadi perhatian penting.

Referensi Bukan Sekadar Formalitas Lho Ya…..

Daftar pustaka bukan pelengkap administratif. DPPM menilai kualitas, relevansi, dan kebaruan referensi. Referensi yang mutakhir dan berasal dari jurnal bereputasi mencerminkan kedalaman pemahaman peneliti terhadap bidangnya. Melalui self-assessment, peneliti dapat mengevaluasi apakah referensi benar-benar mendukung argumen, atau sekadar memenuhi jumlah.

Melakukan self-assessment bukan tanda kurang percaya diri. Justru sebaliknya, ia adalah bentuk profesionalisme akademik. Dengan menilai proposal sendiri menggunakan indikator resmi, peneliti sedang menempatkan dirinya sejajar dengan cara berpikir reviewer. Di tengah kompetisi hibah yang semakin ketat, proposal yang diperiksa secara jujur sebelum dikirim memiliki peluang lebih besar untuk lolos.

Jadi, jika pertanyaannya perlukah self-assessment proposal penelitian?
Jawabannya: perlu, dan semakin lama semakin wajib.

Dapatkan panduan cara mengisinya di: https://www.instagram.com/p/DSkENUyD8az

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *