Dalam sebuah diskusi di Live Instargram, kami membahas topik yang kerap menjadi sorotan di kalangan akademisi: publikasi di jurnal bereputasi internasional. Banyak orang berpikir bahwa Scopus hanyalah soal jumlah publikasi atau tingginya kuartil jurnal. Padahal, esensinya jauh lebih mendalam, tentang proses belajar, kejujuran, dan kebermanfaatan.
Salah satu hal yang sering disalahpahami adalah istilah author. Mengapa penulis artikel ilmiah disebut author dan bukan sekadar writer? Sebab, author bukan hanya orang yang menulis, tetapi juga pemilik gagasan yang ada di dalam artikel tersebut. Artinya, ketika seseorang memesan artikel kepada pihak lain, misalnya menggunakan jasa joki publikasi, maka secara etis ia tidak sah disebut sebagai author. Ia tidak memiliki gagasan yang tertuang di sana.
Selain mengikis integritas, praktik ini juga menghilangkan rasa bangga atas karya sendiri. Yang tersisa, justru penyesalan ketika menyadari bahwa prestasi tersebut bukan hasil jerih payah pribadi. Seperti yang ditekankan oleh Adhan, “hasil tidak pernah mengkhianati proses.” Proses panjang dari jurnal nasional hingga akhirnya menembus jurnal bereputasi kuartil satu adalah perjalanan yang sarat pembelajaran.
Menariknya, di ekosistem publikasi internasional, metode penelitian tidaklah baku. Di dunia akademik, mengembangkan ilmu pengetahuan berarti mengembangkan metode baru (develop a new method). Dua peneliti bisa saja memiliki tujuan dan hipotesis yang sama, tetapi menggunakan metode yang berbeda, dan keduanya tetap valid jika dikaji secara ilmiah. Inilah yang membedakan publikasi ilmiah global dari pola pikir skripsi yang kaku, di mana metode sering dianggap harus mengikuti alur tertentu, bahkan hanya sebatas flowchart.
Dari obrolan ini, ada pesan yang jelas: publikasi ilmiah bukan sekadar mengejar kuantitas atau status jurnal, tetapi tentang kejujuran dalam proses, rasa memiliki atas gagasan, dan keberanian untuk mengembangkan metode yang relevan dan bermanfaat.
