1. Proses Pembakaran dan Waktu Penyalaan
LPG dan bensin memiliki siklus pembakaran yang sama. Keduanya mengikuti siklus Otto, dimana pembakaran terjadi dalam volume constant. Proses pembakarannya terdiri dari tiga periode, yaitu peiode penyalaan dan pengembangan api (ignition and flame development), periode penyebaran api (flame propagation), dan periode akhir pembakaran (flame termination). Awal pembakaran disulut dengan busur api listrik antar kedua elektroda busi. Gambar 1 berikut merupakan ilustrasi proses pembakaran mesin bensin.
Gambar 1 Proses pembakaran pada mesin bensin/LPG
Waktu penyalaan pada mesin bensin/ LPG sangat menentukan kinerja yang dihasilkan. Penyalaan yang terlalu awal menyebabkan kerja negatif, yaitu ekspansi gas pembakaran melawan gerakan piston yang bergerak menuju titik mati atas (TMA). Pada kondisi yang ekstrim dapat menyebabkan kerusakan pada piston, connecting rod, dan bearing. Penyalaan terlalu lambat menyebabkan tekanan puncak menurun sehingga kerja yang dihasilkan menurun. Maximum brake-torque timing (MBT timing) adalah waktu penyalaan yang akan menghasilkan torsi maksimum. Waktu MBT tergantung pada kecepatan putaran dan beban mesin. Pemakaian LPG sebagai bahan bakar akan mengurangi kecenderungan terjadinya knocking, ini karena nilai oktan yang terkandung jauh lebih tinggi dari bensin. Efek lain dari pemakaian LPG adalah terjadinya perubahan kecepatan perambatan api (flame propagation speed). Kecepatan rambat api LPG lebih rendah daripada bensin. untuk itu beberapa penyesuaian perlu dilakukan terkait jenis busi dan saat pengapiannya.
2. Temperatur Ruang Bakar
Pada mesin bensin, bensin masuk ke ruang bakar dalam bentuk uap. Selain berfungsi sebagai bahan bakar, berfungsi juga sebagai pendingin (evaporative cooling). Bensin mengambil panas dari air stream dan komponen mesin untuk berubah fasa dari cair ke uap. Proses ini dapat membantu mendinginkan elektroda busi dan komponen ruang bakar yang lain seperti katup katup dan dinding ruang bakar.
Pada mesin berbahan bakar LPG, selama LPG dimasukkan sudah dalam bentuk gas, akan terjadi fenomena pembakaran kering dan tidak menghasilkan efek pendinginan dalam (inner cooling). Pada sistem konvensional, LPG fasa gas masuk ke mesin justru dengan kondisi yang lebih panas karena terjadi pertukaran panas dengan aliran air pada sistem pendinginan mesin. Hal ini menyebabkan ruang bakar dan elektroda busi menjadi lebih panas.
3. Tegangan Pengapian
Sistem bahan bakar ganda atau tunggal, bensin maupun LPG, mesin memiliki busi yang bekerja dengan cara dasar yang sama. Hal ini memungkinkan hampir semua mesin bensin dapat dikonversi ke LPG dengan mudah dan ekonomis. Namun demikian, ada beberapa perbedaan signifikan ketika mesin berjalan pada LPG dibandingkan dengan bensin.
Pembakaran LPG menghasilkan temperatur dan tekanan yang lebih tinggi dari mesin bensin (untuk mesin yang sama). Pada penyetelan celah elektroda busi yang sama (10 mm), ini berarti mesin LPG membutuhkan tegangan pengapian yang lebih besar untuk ioninasi (peletikan bunga api dari elektroda positif ke elektroda negatif) dibandingkan mesin besin.
Sebagai langkah penyesuaian, dengan tegangan pengapian yang tidak diubah, maka dilakukan penyesuaian celah elektroda busi dengan cara mengurangi celah busi untuk mempermudah ionisasi. Mengingat kecepatan pembakaran LPG lebih rendah daripada bensin, maka diperlukan penyesuaian saat penyalaan. Untuk mendapatkan MBT yang sama dengan mesin bensin, saat pengapian dimajukan beberapa derajat engkol. Grafik ilustrasi penyesuaian pengapian dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2 Grafik penyesuaian pengapian pada mesin LPG
Gambar 2 diatas memberikan informasi ketika mesin beralih dari bensin ke LPG, saat pengapian (ignition timing) dapat dimajukan hingga +15º dari kondisi awal. LPG memiliki nilai oktan yang relatif tinggi (lebih dari 108), sehingga tangguh terhadap gejala knocking. Ini tidak akan menjadi masalah jika mesin beroperasi dengan LPG dengan sistem full dedicated. Kondisi yang berbeda akan muncul pada mobil LPG sistem bi-fuel. Jika saat pengapaian distel terlalu awal, akan timbul gejala knocking saat beroperasi dengan bensin. Untuk itu perlu kompromi agar diperoleh performa yang baik untuk kedua mode bahan bakar.
4. Pemeriksaan dan Penyetelan Waktu Pengapian
Penyetelan waktu pengapian dilakukan dengan menggeser posisi distributor. Waktu pengapian dapat dilihat dengan menyorotkan timing light ke timing mark. Timing mark umumnya terletak pada pully crank shaft (Lihat Gambar 3). Namun demikian, beberapa mesin memiliki timing mark yang diletakkan pada fly wheel. Pada mesin mesin modern, dengan adanya knock sensor tidak diperlukan lagi menyetel pengapian. Saat pengapian akan bergeser secara otomatis menyesuaikan jenis dan kualitas bahan bakar. Jika performa optimal mesin tidak dicapai, dapat dilakukan penyesuaian saat pengapian dengan sirkuit tambahan.
Gambar 5.3 Timing mark
(Sumber : mustangandfords)
5. Penyesuaian Nilai Panas Busi (Heat Range )
Nilai panas busi adalah indeks untuk menyatakan kapasitas mentransfer panas. Karakteristik yang berbeda dari setiap mesin terkait dengan beban operasi, tekanan kompresi, putaran mesin, jenis sistem pendinginan, dan jenis bahan bakar, sangat tidak memungkinkan untuk menjalankan semua mesin dengan busi standar.
Pembakaran dengan LPG menghasilkan deposit carbon dan pengotoran yang lebih sedikit daripada pembakaran bensin. Walaupun demikian, busi pada mesin LPG harus dapat mentransfer panas pembakaran ke kepala silinder yang lebih baik, mengingat beban panas yang diterima lebih besar. Dengan alasan ini, mesin berbahan bakar LPG harus menggunakan busi dengan nilai panas yang lebih rendah. Penyesuaian jenis busi ini perlu dilakukan agar kinerja mesin pada temperatur tinggi tetap terjamin.
Bosch, adalah yang pertama untuk memperkenalkan program busi khusus untuk mesin LPG yang awalnya didedikasikan untuk pasar Australia. Umur pakai rata-rata kebanyakan busi standar adalah 15.000 km. Busi LPG buatan Bosch dirancang khusus untuk aplikasi LPG dengan umur pakai hingga mencapai 30.000 km.
Tabel 1 Aplikasi busi Bosch pada berbagai jenis kendaraan LPG
6. Penyesuaian Celah Busi (Spark Gap)
Celah busi sangat mungkin berubah saat dipakai dalam jangka waktu tertentu. Kondisi ini juga mungkin terjadi pada busi baru. Jika celah busi tidak sesuai dengan target spesifikasi, dapat dilakukan penyesuaian dengan spark plug gap gauge atau dengan feeler gauge. Ilustrasi penyetelan celah busi disajikan dalam Gambar 4 sebagai berikut.
Gambar 4 Penyetelan celah busi
7. Memasang Busi dengan Torque Wrench
Pemasangan busi yang benar adalah dengan torque wrench atau kunci momen. Saat ini, tersedia tiga jenis torque wrench yaitu model jarum, model klik, dan model digital. Pasangkan busi dengan tangan sampai busi duduk menguulir sempurna pada kepala silinder. Kencangkan busi dengan torque wrench sesuai spesifikasi. Spesifikasi torsi pengencangan yang tertera adalah pada saat ulir busi dan ulir lubang busi dalm kondisi kering. Untuk itu, pasang busi tanpa oli atau grease.
Tingkat torsi pengencangan tergantung pada jenis material kepala silinder dan bentuk cincin busi. Torsi pengencangan busi pada kepala silinder yang terbuat dari baja tuang (cast iron) lebih besar daripada material alumunium paduan (alloy). Baja tuang memiliki sifat fisik yang lebih keras daripada alumunium paduan. Begitu juga pada jenis cincin busi, torsi pengencangan pada busi dengan cincin bentuk kerucut lebih besar daripada busi dengan cincin bentuk rata.
Gambar 5 Spesifikasi torsi pengencangan (torque wrench)
8. Memasang Busi Tanpa Torque Wrench
Jika tidak tersedia torque wrench, pemasangan busi dapat dilakukan dengan kunci busi atau SST busi. Pasang busi dan putar dengan tangan sampai mengulir sempurna pada kepala silinder. Busi baru dengan cincin rata dikencangkan dengan kunci busi sampai ± 90º, sedangkan busi dengan cincin kerucut dikencangkan sampai ± 15º.
Kepala silinder dengan material dari alumunium paduan sangat sensitif terhadap kekuatan pengencangan busi. Torsi pengencangan yang berlebihan (over torque) akan menimbulkan kerusakan pada ulir lubang busi. Namun demikian, jika torsi pengencangannya terlalu lemah akan menyebabkan kebocoran kompresi.
Gambar 6 Pemasangan busi tanpa torque wrench
9. Memasang Tutup Busi
Pada sisi ujung busi terdapat baut (connecting nuts) untuk mengkoneksikan busi ke tutup busi. Beberapa jenis busi dengan merk dan spesifikasi yang berbeda mungkin saja berbeda ukuran connecting nuts-nya. Hal ini akan mempengaruhi posisi pengunci pada tutup busi. Jika ini terjadi, lepaskan connecting nuts pada busi baru dan busi lama kemudian saling ditukarkan. Namun demikian, beberapa jenis busi memiliki connecting nuts yang tidak dapat dilepas. Untuk kasus ini, harus dipastikan koneksinya dengan tutup busi dalam keadaan baik.
Gambar 7 Penyesuaian connecting nuts
10. Inspeksi Kabel Busi (Ignition Lead)
Sistem pengapian adalah kunci untuk mendapatkan tenaga mesin yang optimal. Ketika kendaraan berbahan bakar bensin dikonversi ke LPG, kinerja sistem pengapian harus lebih efisien. Salah satu titik maslah melemahnya sistem pengapian adalah pada kabel kabel busi (ignition leads). Kerusakan pada kabel busi menghasilkan perbedaan yang signifikan terhadap kinerja mesin. Pada beberapa kasus, dapat mengakibatkan suara mesin kasar (noise), miss-fire, pemborosan konsumsi bahan bakar, dan menyebabkan kerusakan pada komponen lainnya.
Untuk memastikan berfungsinya sistem pengapian, kabel busi harus dalam kondisi baik (tidak aus atau rusak pada ujung ujungnya) dan semua koneksi harus kuat. Kinerja sistem pengapian dapat diuji dengan sebuah osiloskop. Tegangan pengapian yang terukur harus sesuai dengan target tegangan atau spesifikasi yang diberikan oleh produsen kendaraan. Jika hasil pengukuran jauh diluar spesifikasi, ganti kabel busi dan kelengkapannya.
Original source: Muji Setiyo & Suyitno, Teknologi Kendaraan Berbahan Bakar LPG