Belakangan ini, isu mengenai Tunjangan Kinerja Dosen (Tukin Dosen) menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Banyak yang bertanya-tanya, sebenarnya apa itu tukin dosen? Apakah semua dosen berhak mendapatkannya? Bagaimana pengaturannya? Penjelasan berikut merupakan view point yang berbeda dengan terminologi tukin sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Dalam perpres tersebut, tukin diberikan kepada pegawai, termasuk dosen ASN, berdasarkan capaian kinerja masing-masing individu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian tukin ini bertujuan untuk mendorong peningkatan kinerja dan produktivitas pegawai di lingkungan Kemendiktisaintek.
Apa Itu Tukin Dosen?
Tukin merupakan bentuk penghargaan tambahan yang diberikan kepada dosen yang menunjukkan kinerja melampaui standar yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, tunjangan ini bukan untuk semua orang, melainkan diberikan berdasarkan tingkat pencapaian kinerja dosen.
Jenis Tunjangan yang Diterima Dosen
Dalam struktur penggajian dosen, umumnya terdapat tiga jenis tunjangan utama:
-
Tunjangan Struktural
Tunjangan ini diberikan kepada dosen yang merangkap sebagai pejabat struktural di lingkungan kampus, seperti ketua program studi, dekan, atau rektor, pimpinan unit lainnya. Tunjangan ini bersifat tetap (flat), tidak tergantung pada kinerja akademik. -
Tunjangan Fungsional
Diberikan berdasarkan jabatan akademik dosen, seperti Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala, hingga Guru Besar. Semakin tinggi jabatan akademiknya, semakin besar tunjangan yang diterima. Seperti tunjangan struktural, jenis tunjangan ini juga bersifat flat. -
Tunjangan Kinerja berdasarkan Academic Performance
Inilah yang paling dinamis. Tukin dihitung berdasarkan kinerja lebih dosen di bidang tridarma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Jika kinerja dosen melebihi standar minimum yang ditetapkan oleh institusi, maka kelebihan tersebut dapat dikonversi menjadi nilai tukin.
Bagaimana Tukin Dihitung?
Setiap dosen memiliki standar minimum kewajiban per semester, misalnya Mengajar: 8 SKS; Meneliti: 2 SKS; dan Mengabdi: 2 SKS, dengan total kewajiban minimum 12 SKS, tergantung pengaturan pada setiap institusi. Jika seorang dosen mampu mengajar 12 SKS, maka 4 SKS dianggap sebagai kelebihan kinerja. Hal yang sama berlaku untuk bidang lain. Misalnya, jika standar penelitian adalah 2 SKS tetapi dosen tersebut menghasilkan penelitian senilai 10 SKS, maka 8 SKS-nya dihitung sebagai kontribusi tambahan yang berhak dikonversi menjadi nilai tukin. Perlu dicatat bahwa setiap institusi dapat memiliki formula sendiri dalam mengonversi kelebihan SKS ini menjadi nominal tunjangan. Indeks kinerja bisa berbeda-beda antara kelebihan mengajar, penelitian, dan pengabdian.
Dimensi Keadilan: Beda Jabatan, Beda Beban
Salah satu hal yang sering menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana tukin dihitung jika dosen memiliki jabatan akademik yang berbeda? Contohnya, seorang Lektor Kepala dan seorang Lektor sama-sama berhasil mempublikasikan dua artikel di jurnal terakreditasi peringkat 2. Karena Lektor Kepala memiliki kewajiban minimal untuk menghasilkan publikasi di jurnal tersebut, maka satu artikel digunakan untuk memenuhi kewajiban, dan hanya satu yang dihitung sebagai kontribusi tambahan. Sementara bagi Lektor, dua artikel tersebut dianggap kontribusi tambahan sepenuhnya, jika dosen dengan jabatan akademik Lektor tersebut telah memenuhi kewajiban khususnya berupa publikasi di jurnal terakreditasi peringkat 3 (misalnya). Di sinilah pentingnya sistem tukin yang membedakan antara “kewajiban” dan “kelebihan kontribusi”, agar insentif benar-benar diberikan kepada yang melampaui ekspektasi, bukan sekadar memenuhi standar.
Mengapa Tukin Penting?
Tukin berperan sebagai alat motivasi yang mendorong dosen untuk tidak hanya menjalankan tugas mengajar dan meneliti secara formalitas, tetapi juga untuk menghasilkan luaran yang nyata dan berdampak. Dengan adanya indikator kinerja yang terukur dan insentif yang jelas, budaya kerja berbasis capaian pun dapat tumbuh. Hal ini mendorong dosen untuk menyusun roadmap akademik pribadi dan secara aktif mengejar target-target kinerja yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, peningkatan kinerja individu akan memberikan kontribusi signifikan terhadap kualitas institusi secara keseluruhan, termasuk dalam hal akreditasi, pemeringkatan, dan kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi.
Tantangan dan Harapan
Meskipun tukin telah menjadi instrumen penting dalam mendorong produktivitas dan akuntabilitas dosen, penerapannya di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan yang perlu segera dibenahi. Salah satu persoalan utama adalah ketidakjelasan standar konversi kinerja menjadi tunjangan di beberapa institusi, yang menyebabkan ketimpangan persepsi dan pelaksanaan antar perguruan tinggi. Selain itu, sistem pelaporan beban kerja dosen yang masih dilakukan secara manual di banyak kampus membuka celah terhadap manipulasi data, serta menyulitkan proses evaluasi yang objektif dan adil. Tantangan lainnya adalah belum semua institusi memiliki dan mengimplementasikan Academic Performance Index (API) secara komprehensif dan transparan, padahal instrumen ini penting untuk menilai kontribusi dosen secara holistik dalam aspek pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Ke depan, harapannya sistem tukin dapat dikembangkan menuju model yang lebih terstandarisasi secara nasional. Standarisasi ini penting untuk memastikan bahwa seluruh dosen, baik ASN maupun dosen swasta, memperoleh perlakuan yang adil dan setara dalam hal pengakuan atas kinerja. Negara bersama institusi pendidikan tinggi perlu mengambil tanggung jawab kolektif untuk membangun sistem tukin yang adil dan transparan. Dengan pendekatan ini, tukin tidak sekadar menjadi instrumen administratif, tetapi juga bagian dari strategi nasional dalam membangun budaya mutu dan meningkatkan daya saing pendidikan tinggi Indonesia.
Dapatkan versi videonya di: