Ketika seorang peneliti menulis artikel ilmiah, sejatinya ia sedang menimbang gagasan. Bukan sekadar menjumlahkan halaman, tabel, atau referensi, tapi membangun bobot ilmiah yang utuh, yang bisa diukur dari cara berpikir deduktif dan induktif yang tertanam dalam struktur artikelnya.

Dimulai dari Masalah yang Penting

Setiap artikel ilmiah yang baik selalu dimulai dari satu hal yang fundamental: masalah. Tapi bukan sembarang masalah, melainkan masalah yang objektif dan penting. Masalah yang bukan hanya dirasakan penulisnya, tetapi bisa dikenali dan disepakati oleh komunitas ilmiah. Setelah menemukan masalah itu, penulis harus masuk ke wilayah yang sering terabaikan: apresiasi dan kritisi terhadap penelitian sebelumnya. Ini bukan sekadar menyebutkan siapa meneliti apa, tetapi mengapresiasi pencapaian mereka, lalu mengkritisi dengan cara yang elegan.

Kata kunci yang sering jadi batas antara apresiasi dan kritisi adalah “namun demikian.” Kalimat semacam “Penelitian X telah berhasil mengembangkan metode A… namun demikian, aspek B masih belum terjawab” menjadi penanda bahwa penulis tidak sekadar mengulang, tetapi menawarkan perbaikan.

Munculnya Gagasan Baru (Novelty)

Setelah masalah dan ruang diskusi dari penelitian sebelumnya terbuka, saatnya penulis hadir dengan gagasan baru. Inilah yang disebut novelty—unsur kebaruan yang menjadi inti dari kontribusi ilmiah. Novelty kemudian dilanjutkan dengan dugaan hasil (hipotesis) yang terukur. Tapi hipotesis saja tak cukup. Ia harus diturunkan dari kerangka berpikir yang solid: grand theory, kerangka konsep, dan tentu saja relevan dengan konteks penelitian.

Metode yang Logis dan Unik

Hipotesis itu akan diuji melalui metode. Di sinilah keunikan menjadi penting. Sebab reviewer akan cepat kehilangan minat jika metode yang digunakan terasa biasa dan terlalu umum. Metode yang unik dan logis akan menghasilkan data yang orisinal (first hand data) yang merupakan nilai utama dari sebuah riset. Tanpa ini, riset hanya jadi daur ulang.

Dari Data ke Makna: Logika Induktif

Setelah hasil diperoleh, saatnya masuk ke logika induktif. Artinya, bukan hanya menyajikan angka-angka, tetapi memberi makna pada data. Apa arti dari temuan tersebut? Apa maknanya bagi ilmu? Bagi praktik? Bagi masyarakat? Pembahasan yang baik akan membuka ruang lintas pendekatan, interdisipliner, multidisipliner, bahkan transdisipliner. Semakin luas pendekatannya, semakin kaya interpretasi data.

Diskusi Ilmiah: Dialog dan Perdebatan

Setelah data dimaknai, tahap berikutnya adalah membandingkan hasil dengan temuan sebelumnya (prior finding). Inilah tempatnya membangun dialog ilmiah. Riset kita bisa memperbaiki riset terdahulu, bisa juga membantahnya. Semua itu sah, asalkan disampaikan dengan data dan argumen. Dari sini, pembaca bisa melihat keunikan penelitian kita. Bahwa artikel kita bukan sekadar menambah jumlah tulisan di jurnal, tapi ikut berkontribusi dalam perdebatan dan pengembangan ilmu.

Kesimpulan, Implikasi, dan Keterbatasan

Artikel ditutup dengan kesimpulan yang menegaskan temuan dan implikasinya, baik terhadap pengembangan ilmu maupun manfaat praktisnya. Di akhir, penulis juga bisa menyebutkan keterbatasan riset. Ini bukan kelemahan, tapi jembatan bagi peneliti berikutnya. Jika kemudian penelitian itu disitasi secara ilmiah dan terpuji oleh orang lain, maka di sanalah kontribusi kita berlanjut. Kita memperoleh kredit bukan karena banyak bicara, tapi karena telah menulis dengan bobot ilmiah yang sebenarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Yuk, Ikuti Media Sosial Kami!
Dapatkan informasi terbaru, inspirasi, dan berbagai kegiatan menarik lainnya dengan mengikuti akun resmi kami di media sosial.

 

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak digital ya..