Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR/DPR di Gedung Nusantara (16/08/2025) menyinggung soal besarnya penghasilan yang diterima para komisaris BUMN. Ia menyebut adanya komisaris yang hanya rapat sebulan sekali, namun bisa mengantongi tantiem hingga Rp40 miliar setahun. Pernyataan itu sontak menuai perhatian publik, sebab tantiem selama ini dikenal sebagai salah satu sumber penghasilan fantastis bagi petinggi perusahaan pelat merah.
Apa Itu Tantiem?
Dikutip dari Youtube Kompas.com, tantiem adalah bonus tahunan yang diberikan kepada direksi maupun komisaris BUMN apabila perusahaan mencatatkan kinerja positif. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri BUMN tahun 2009. Menariknya, tantiem tetap bisa diberikan meskipun perusahaan masih mencatat kerugian, selama ada indikator peningkatan kinerja.
Besaran tantiem ditentukan melalui Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) di awal tahun buku dan kemudian disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jumlah yang diterima masing-masing petinggi BUMN berbeda-beda sesuai jabatan:
-
Direktur utama mendapat 100%
-
Direksi lainnya 90%
-
Komisaris utama 40%
-
Komisaris lain 36%
Dengan skema ini, tidak heran jika bonus tahunan yang diterima bisa mencapai angka fantastis, bahkan menyaingi keuntungan perusahaan itu sendiri.
Kritik Presiden Prabowo
Prabowo menilai pemberian tantiem tersebut tidak masuk akal. Menurutnya, kontribusi yang diberikan tidak sebanding dengan jumlah bonus yang diterima. Ia menegaskan, “Masa ada komisaris rapat sebulan sekali, tantiemnya Rp40 miliar setahun?”
Lebih lanjut, ia menyatakan sudah memerintahkan agar praktik pemberian tantiem dihentikan. Jika perusahaan rugi, maka direksi maupun komisaris tidak seharusnya menerima bonus. Bahkan jika perusahaan untung, Prabowo menekankan keuntungan itu harus nyata dan bukan hasil dari “akal-akalan” laporan.
Ia juga menegaskan bahwa bagi petinggi BUMN yang tidak sepakat dengan kebijakan ini, dipersilakan mengundurkan diri.
Antara Regulasi dan Keadilan
Polemik tantiem ini membuka kembali perdebatan tentang transparansi dan akuntabilitas BUMN. Di satu sisi, aturan resmi memang mengatur mekanisme pemberian tantiem sebagai bentuk penghargaan atas kinerja. Namun di sisi lain, publik mempertanyakan apakah bonus yang sedemikian besar layak diberikan ketika kinerja perusahaan tidak sepenuhnya menggembirakan, bahkan masih mencatat kerugian.
Sikap Presiden Prabowo seolah ingin menegaskan bahwa era “kenyamanan” bagi petinggi BUMN tanpa kinerja nyata harus berakhir. Pertanyaannya, apakah kebijakan penghentian tantiem ini benar-benar akan dijalankan dan seberapa kuat resistensi yang mungkin muncul dari internal BUMN?