Berita di Kompas dengan judul “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah” pada tanggal 10 Februari 2023 telah menjadi perbincangan dalam media sosial maupun dalam diskusi di kalangan akademisi. Diberitakan bahwa praktik perjokian dunia akademik di sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia terjadi massif dan sistematis. Praktik perjokian dalam pembuatan karya ilmiah untuk syarat kelulusan akademis hingga pengajuan guru besar terjadi di kampus negeri dan swasta [1]. Ada beberapa modus yang digunakan pelaku untuk mencatatkan nama mereka sebagai main author dalam sebuah artikel yang dipublikasikan dalam jurnal internasional bereputasi. Tentu, ini menjadi citra buruk potret pendidikan tinggi di Indonesia.

Fakta saat ini

Di Indonesia, ada beberapa syarat untuk memperoleh “jabatan akademik” sesuai dengan PO-PAK. Misalnya, untuk menjadi Professor/Guru Besar, harus memenuhi kualifikasi akademik S3, memenuhi angka kredit dan proporsinya, serta persyaratan khusus lainnya (termasuk artikel, jumlah dan kualitasnya). Di beberapa negara Eropa, seperti Perancis, Jerman, dan Italia, seorang akademisi yang ingin dipromosikan menjadi Guru Besar harus menulis dokumen akademis yang menunjukkan kontribusi apa yang sudah diberikan pada pengetahuan melalui penelitian. Dokumen tersebut memiliki panjang dan mirip dengan Tesis PhD. Kemudian kualitasnya dinilai oleh panel profesor yang ahli dalam bidang penelitian pengusul. Selanjutnya, pengusul harus melalui proses mencari persetujuan dari komunitas akademis atau kredensial atau disebut dengan habilitasi [2]. Setiap negara memiliki aturan yang mungkin berbeda (uniqueness) tetapi ada satu kesamaan, bahwa setiap calon Professor/Guru Besar harus diverifikasi dulu kapasitas keilmuannya (cara verifikasinya pun mungkin berbeda-beda).

Beberapa cerita

  • Sudah punya artikel dengan kualifikasi Q1, Q2, Q3 tapi usulan Jabatan Fungsional dikembalikan,
  • Angka kredit usulan sudah dilebihkan, namun dikembalikan karena dinilai kurang,
  • Dan mungkin banyak lagi alasan yang “logis” bagi Tim PAK namun dinilai “tidak logis” bagi pengusul, jika usulan dikembalikan. Tentu saja, Tim PAK menilai usulan jabatan fungsional telah menggunakan panduan, berdasarkan kepakaran, terlatih, dan memiliki pengalaman.

Perlu diketahui

  • Menjadi Profesor/GB bukan sekedar komulatif AK, tapi apakah sudah ada karya (gagasan yang kontributif dan teruji) yang mewakili kapasitas keilmuan pengusulnya untuk layak mendapatkan jabatan akademik Profesor/GB?
  • Artikel ilmiah hanyalah “MEDIA” untuk menyampaikan gagasan (yang novelt) dan teruji (dengan metode uji valid dan dapat diulangi oleh peneliti lain) sehingga memberikan kontribusi bagi pengembangan keilmuan.
  • Jurnal ilmiah hanyalah “WADAH” dari kumpulan “MEDIA GAGASAN TERUJI”, untuk disebarluaskan agar diketahui banyak orang dan menjadi petunjuk untuk pengembangan keilmuan selanjutnya atau memberikan manfaat praktis.
  • Karena di Indonesia tidak ada UJIAN ke Professor/GB, maka kapasitas keilmuan calon Professor/GB diperiksa melalui kualitas artikel-artikel yang diajukan sebagai persyaratan, oleh TIM PAK bertingkat.
  • Perlu diketahui juga bahwa:
    • Karya ilmiah dikirim ke LLDikti/Dikti “SENDIRI” tanpa diantarkan oleh penulisnya.
    • Karya ilmiah kita diperiksa “SENDIRI” tanpa ditemani penulisnya.
    • Karya ilmiah sebagai wakil kapasitas pengusul harus meyakinkan, harus bisa bicara sendiri kepada TIM PAK.

Tidak semua jurnal ilmiah menjalankan praktek peer-review terstandar

Meskipun berlabel “international journal” namun tidak semua jurnal tersebut mempraktekkan penerbitan sesuai standar. Beberapa jurnal menerbitkan artikel tanpa proses review dan editing yang baik. Sebagai contoh, tiga judul dan abstrak artikel berikut membuktikan bahwa dugaan terhadap kenakalan dalam penerbitan artikel tersebut benar-benar ada. Namun, kesalahan ini tidak semuanya pada penerbit, mereka melihat pasar. Oleh karena itu, sikap kehati-hatian para peneliti dalam memilih jurnal tujuan adalah kuncinya.

Beberapa langkah penting

Menanggulangi pelanggaran integritas akademik di perguruan tinggi harus dilaksanakan secara komprehensif, dari aspek kebijakan, praktek pelaksanaan kebijakan, sampai dengan peningkatan pemahaman civitas akademika terkait etika publikasi dan bentuk pelanggaran integritas akademik, yang setidaknya mencakup:

  • Perguruan Tinggi menerbitkan peraturan tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah atau nama lain yang sesuai dalam bentuk Peraturan Universitas atau Peraturan Rektor (sesuai jenis peguruan tingginya), yang salah satunya dapat mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan TeknologiNomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah.
  • Pembentukan komisi etik atau nama lain yang merupakan bagian dari Senat Universitas untuk melakukan screening lebih ketat untuk memverifikasi karya ilmiah pengusul jabatan fungsional dosen.
  • Perguruan tinggi wajib memiliki perangkat lunak pendeteksi similarity untuk selanjutnya dapat diperiksa kemungkinan terjadi plagiat.
  • Perguruan tinggi secara periodik dan berkesinambungan mensosialisasikan integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah kepada civitas akademika.

Referensi

[1] I. Alfajri, D. D. Aritonang, I. Sarwindaningrum, and A. R. Hidayat, “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Karya Ilmiah,” Kompas, Harian Kompas, 09-Feb-2023. Available: https://www.kompas.id/baca/investigasi/2023/02/09/calon-guru-besar-terlibat-perjokian-karya-ilmiah [Accessed: 10-Feb-2023].
[2] Dwi Murdaningsih, “Sulitnya Menjadi Profesor di Luar Negeri,” Edmuku.id. [Online],  26-Feb-2018. Available: https://edmuku.id/blog/kiat-mendapatkan-gelar-profesor-di-luar-negeri. [Accessed: 10-Feb-2023].
2 thoughts on “Meraih Jabatan Fungsional Akademik Secara Fair”
  1. menarik dan menggelitik.
    sukses selalu buat Prof. Muji yang terus menginspirasi dan berkontribusi buat negeri.
    semoga semuanya penuh berkah dan manfaat. Aamiin..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *