Di tengah gempuran tuntutan akademik yang semakin administratif, publikasi ilmiah kerap kali dipandang semata sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk kenaikan pangkat, akreditasi institusi, atau sekadar memenuhi target tahunan. Tak sedikit dari kita yang menulis karena merasa “harus”, bukan karena “ingin” atau “perlu”.
Namun, mari kita berhenti sejenak dan merenungkan esensi dari menulis artikel ilmiah. Apa sebenarnya tujuan kita?
Dari Kewajiban Menuju Kesadaran Akademik
Menulis artikel ilmiah bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Ia sejatinya adalah bagian dari proses panjang membangun identitas keilmuan kita. Setiap artikel yang terbit adalah cerminan dari siapa kita sebagai akademisi: bagaimana kita berpikir, di bidang apa kita berkiprah, sejauh mana kontribusi kita terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, dan bagaimana kita memosisikan diri di tengah komunitas ilmiah yang lebih luas. Identitas keilmuan tidak dibentuk dalam semalam. Ia dibangun dari proses membaca, meneliti, berdiskusi, dan tentu saja menulis. Maka dari itu, setiap artikel yang kita hasilkan sebaiknya tidak hanya sekadar ada, melainkan mengandung nilai dan membawa pengaruh.
https://www.tiktok.com/@mujisetiyo_/video/7512015721648409912
Kontribusi Artikel Ilmiah: Ipteks dan Komunitas
Sebuah artikel ilmiah yang baik tidak hanya penting bagi dunia akademik, tetapi juga memiliki relevansi sosial. Kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) penting, namun tak kalah penting adalah dampaknya bagi kehidupan nyata masyarakat. Bayangkan jika hasil penelitian kita benar-benar mampu membantu komunitas, memecahkan masalah lokal, memperkuat praktik sosial, atau mendorong perubahan kebijakan. Bukankah itu jauh lebih bermakna? Di sinilah letaknya kontribusi ganda dari tulisan ilmiah: mengisi kekosongan pengetahuan sekaligus memberi manfaat praktis.
Novelty adalah Napas Ilmiah
Setiap artikel ilmiah yang baik harus mengandung kebaruan/novelty. Dalam dunia yang bergerak cepat dan penuh informasi, hanya gagasan-gagasan baru yang akan bertahan dan dihargai. Kebaruan bisa berupa pendekatan, metode, data, maupun sudut pandang yang unik. Tanpa novelty, sebuah artikel akan tenggelam di antara ribuan publikasi lainnya. Maka tugas kita adalah terus mencari celah baru, mempertajam pertanyaan penelitian, dan menghadirkan sesuatu yang berbeda dan berdampak.
Enak Dibaca, Enak Dilihat: Etika Estetika dalam Ilmu
Aspek lain yang kerap diabaikan adalah kenyamanan membaca. Artikel ilmiah memang padat dan serius, tetapi bukan berarti harus kaku dan membingungkan. Justru semakin kompleks gagasan kita, semakin penting kita menyajikannya dengan jelas, terstruktur, dan menarik secara visual. Tampilan yang bersih, alur logika yang kuat, serta pemilihan kata yang tepat akan membuat artikel kita lebih mudah dipahami dan diapresiasi. Ingat, tulisan yang enak dibaca adalah jembatan agar gagasan kita bisa sampai kepada pembaca—dan dari situlah dampak bisa terjadi.
Menulis sebagai Proses yang Berkelanjutan
Menulis ilmiah bukan aktivitas sekali jadi. Ia adalah proses belajar seumur hidup. Tak ada penulis hebat yang langsung mahir sejak awal. Yang ada adalah mereka yang terus mencoba, memperbaiki, dan belajar dari setiap tulisan yang dihasilkan. Jadi, mari kita ubah cara pandang. Menulis artikel ilmiah bukan beban, tetapi kesempatan—untuk membangun identitas keilmuan, memberi kontribusi, dan menebar manfaat.
Mulailah menulis bukan karena diminta, tetapi karena merasa perlu. Karena dari sanalah akan lahir karya-karya yang bukan hanya terbit, tapi juga berarti.