Hari ini (17/9/2025) saya berkesempatan menyampaikan materi “Perguruan Tinggi di Era Digital dan Revolusi Industri” dalam kegiatan Masa Ta’aruf Mahasiswa Baru Akademi Kesehatan Muhammadiyah Temanggung. Dalam sesi ini, saya menekankan satu hal penting: the readiness of students and institutions.
Berdasarkan riset “Higher Education 4.0 and the Readiness of Indonesia’s Future Workforce” yang dilakukan oleh Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (UGM), ada beberapa fakta menarik tentang kesiapan mahasiswa menghadapi era Revolusi Industri 4.0. Studi ini didasarkan pada survei 1.162 mahasiswa dan wawancara dengan 19 pimpinan perguruan tinggi. Secara keseluruhan, skor kesiapan total mahasiswa Indonesia adalah 60,62 dari 100, yang menunjukkan mereka memiliki lebih dari 50% keterampilan yang dibutuhkan, namun masih jauh dari kondisi ideal.
Keterampilan Digital dan Keterampilan Lintas Fungsi
Pertama, mahasiswa Indonesia cukup baik dalam basic digital competency dengan skor rata-rata 72,89 dari 100. Mereka terbiasa menggunakan smartphone, laptop, dan layanan digital sehari-hari untuk informasi dan komunikasi. Namun, pada level intermediate competency skornya turun menjadi 56,35, dan pada advanced competency hanya 44,53. Artinya, kemampuan mahasiswa masih terbatas pada penggunaan dasar, belum sampai pada pemanfaatan teknologi untuk pemecahan masalah yang lebih kompleks. Selain itu, ada kelemahan yang signifikan dalam pembuatan konten dan keamanan digital.
Kedua, dari sisi soft skills atau keterampilan lintas fungsi, mahasiswa memperoleh skor rata-rata 63,33. Keterampilan yang paling kuat adalah koordinasi dan fleksibilitas berpikir, sementara yang paling lemah adalah negosiasi dan orientasi layanan. Ini menunjukkan bahwa meskipun generasi muda cukup adaptif, mereka masih perlu mengasah kemampuan berpikir kritis, komunikasi efektif, dan kreativitas.
Perbedaan Antar Kelompok dan Kesiapan Perguruan Tinggi
Riset ini juga menemukan adanya perbedaan kesiapan di antara kelompok mahasiswa. Mahasiswa laki-laki lebih siap daripada perempuan, dan mahasiswa dari jurusan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) lebih siap daripada non-STEM. Selain itu, mahasiswa di pulau Jawa lebih siap dibandingkan di luar Jawa, dan mahasiswa dari perguruan tinggi tier-1 lebih siap daripada tier-2 dan tier-3.
Ada juga fenomena yang menarik: mahasiswa cenderung overconfidence. Mereka menilai diri mereka lebih siap dari kenyataannya. Secara objektif, skor riil mereka adalah 60,62, namun ketika menilai diri sendiri, mereka memberi skor 72,84. Gap ini menunjukkan perlunya kesadaran diri yang lebih jujur agar bisa berkembang secara optimal.
Dari sisi kesiapan perguruan tinggi, studi ini menunjukkan bahwa meskipun semua perguruan tinggi memiliki fasilitas dasar, hanya 4 dari 19 yang memiliki platform e-learning yang memadai. Ditemukan juga bahwa banyak dosen senior belum familiar dengan teknologi Industri 4.0 sehingga membutuhkan pelatihan ulang (retraining). Untuk mempersiapkan mahasiswa, kurikulum ideal harus mencakup e-learning, kewirausahaan digital, bahasa Inggris, dan pengantar Industri 4.0.
Kesimpulan
Dari temuan ini, saya mengajak mahasiswa baru untuk tidak hanya merasa siap, tetapi benar-benar membekali diri dengan keterampilan yang relevan. Kesiapan di era digital bukan sekadar menguasai gawai atau aplikasi, tetapi juga membangun kompetensi tingkat lanjut, kemampuan berpikir kritis, dan integritas dalam memanfaatkan teknologi. Perguruan tinggi juga perlu memperkuat infrastruktur e-learning, meningkatkan kompetensi dosen, dan memperbarui kurikulum agar relevan dengan IR 4.0.
Bagi saya, inilah tantangan sekaligus peluang. Generasi muda hari ini adalah aset bangsa. Jika mereka bisa menyeimbangkan penguasaan teknologi dengan etika, kreativitas, dan tanggung jawab, maka mereka benar-benar siap menghadapi dunia kerja dan kehidupan di era digital.