Pertanyaan mengenai apakah jurnal internasional yang mahal bisa disebut sebagai jurnal predator sering muncul dalam diskusi akademik. Kekhawatiran ini wajar, sebab publikasi ilmiah bukan sekadar syarat administratif, tetapi juga cerminan reputasi akademik seorang peneliti. Tidak sedikit yang merasa waswas, jangan-jangan biaya publikasi yang tinggi hanyalah jebakan dari jurnal predator.
Namun, mahalnya biaya publikasi ternyata tidak serta-merta menjadikan sebuah jurnal berstatus predator. Ada banyak jurnal bereputasi tinggi, bahkan di kuartil 1 (Q1), yang memasang biaya publikasi hingga puluhan juta rupiah. Selama sejak awal mereka transparan mengenai biaya yang harus dibayar, serta tetap menjalankan proses peer review yang ketat, jurnal tersebut tetap dianggap sahih dan kredibel. Sebaliknya, jurnal predator justru memperlihatkan pola berbeda: mereka tidak menjalankan proses review yang layak, dan sering kali tidak transparan mengenai biaya. Penulis biasanya baru diminta membayar setelah artikel diterima atau bahkan saat proses submission sudah berjalan.
Persoalan biaya publikasi sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari perspektif pembiayaan riset. Di Indonesia, ketika penelitian dilakukan dengan dana yang relatif kecil, misalnya Rp2–3 juta, membayar publikasi hingga Rp50 juta tentu terasa sangat memberatkan. Perbandingannya bisa sampai puluhan kali lipat dari total dana riset yang digunakan. Namun, jika penelitian didukung oleh pendanaan yang besar, katakanlah ratusan juta hingga miliaran rupiah, maka biaya publikasi sebesar itu hanya sekitar lima persen dari total anggaran. Dengan kata lain, mahal atau murahnya sebuah jurnal sering kali relatif terhadap standar biaya riset di masing-masing negara atau lembaga.
Dari sini jelas bahwa label predator tidak bisa serta-merta dilekatkan pada jurnal hanya karena biayanya tinggi. Yang jauh lebih penting adalah menilai transparansi, kualitas proses review, serta rekam jejak jurnal itu sendiri. Dengan pemahaman seperti ini, peneliti bisa lebih bijak menentukan jurnal tujuan publikasinya, tanpa terjebak pada stigma bahwa “jurnal mahal pasti predator.”